Rabu, 10 Desember 2014

MAKALAH PSIKOLOG ISLAM TENTANG PERILAKU KEBERAGAMAAN



PERILAKU KEBERAGAMAAN

 PERILAKU KEBERAGAMAAN


A.    Pendahuluan
Dalam era globalisasi dan era serba canggih ini, banyak sekali budaya asing yang telah masuk ke dalam budaya kita, baik itu sesuai dengan budaya ataupun yang melenceng dari budaya kita . Berbagai budaya tersebut sangatlah berpengaruh terhadap perilaku kita. Apalagi budaya yang tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman. Disamping itu telah banyak para manusia dalam mengejar kesuksesan juga tak jarang manusia meninggalkan kewajibannya sebagai makhluk beragama.
Dikalangan para intelektual lebih banyak memahami Islam sebagai ilmu pengetahuan bukanlah sebagai agama. Artinya Islam hanya sebatas dipelajari dan dikaji sebagai bentuk pengetahuan tidak sampai masuk dalam tataran pengalaman.
Dari deretan fenomena diatas muncullah bingkai perilaku keberagamaan akibat adanya kegersangan rohani, dan kekosongan spiritual karena tidak diposisikannya agama sebagaimana semestinya yang seharusnya masuk kedalam sendi – sendi kehidupan manusia.

B.     Permasalahan
1.                  Bagaimana pengaruh keberagamaan dalam perilaku ?
2.                  Bagaimana posisi psikologi dalam perspektif Islam ?
3.                  Bagaimana tingkah laku keagamaan yang menyimpang ?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perilaku Keberagamaan
Perilaku keberagamaan berasal dari dua kata yaitu perilaku dan keberagamaan. Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dari gerak (sikap) tidak hanya dari badan ataupun ucapan.[1] Sehingga perilaku itu merupakan cerminan dari kepribadian, yaitu gerak motorik yang terapresiasi dalam bentuk perilaku ataupun aktivitas.
Sedangkan keberagamaan berasal dari kata agama yang diartikan sekumpulan peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang  yang mempunyai akal untuk  mengikuti peraturan tersebut sesuai kehendak dan pilihannya sendiri untuk mencapai kebahagiaan didunia ataupun akhirat. Dari perspektif psikologi keimanan agama dirumuskan sebagaimana terdapat dalam kitab suci, perilaku agama personal diukur dengan kegiatan, seperti sembahyang, membaca kitab suci dan perilaku lainnya yang mendatangkan manfaat spiritual.[2]
Jadi perilaku keberagamaan adalah aktifitas atau perilaku yang didasarkan oleh nilai – nilai agama. Perilaku keberagamaan harus dibahas karena dari perilaku tersebut menimbulkan kesadaran agama dan pengalaman agama. Kesadaran agama dapat hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan intropeksi. Sedangkan pengalaman agama perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah hasil dari keagamaan.[3]

B.     Manusia dan Agama
Psikologi modern tampaknya memebri porsi yang khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendekata psikologis yang digunakan terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia.
Pendapat yang paling ekstrim pun tentang hal itu masih menunjukkan betapa agama sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan terbatas pada pengalaman empiris. Psikologi agama yang digunakan merupakan salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi
Menurut Skinner, kegiatan keagaman menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. Lembaga-lembaga social termasuk lembaga keagamaan, bertugas menjaga dan mempertahankan perilaku atau kebiasaan masyarakat. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara mengikuti aturan-aturan yang telah baku. (Djamaluddin Ancok, 1994: 73)
Sejalan dengan prinsip teorinya, bahwa behaviorisme memandang perilaku manusia itu lahir karena adanya stimulant (rangsangan dari luar dirinya). Manusia berperilaku agama karena didorong oleh rangsangan hukuman dan hadiah (pahala). Manusia hanyalah sebuah robot yang bergerak secara mekanis menurut pemberian hukuman dan hadiah. (Djamaluddin Ancok, 1994: 74)
Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan, minum, istirahat, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas. Kebutuhan ini dimanifestasikan antara lain dalam bentuk tempat tinggal yang permanen. Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antar manusia. Keempat, kebutuhan akan harga diri. (Djamaluddin Ancok, 1994: 49)
Agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agama sangat penting bagi manusia terutama  bagi orang yang berilmu, apapun disiplin ilmunya, karena dengan agama ilmunya akan lebih bermakana. Bagi kita umat islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu agama islam. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan, manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghoib. Ketundukan ini merupakan bagian dari factor intern manusia yang dalam psiokologi kepribadian dinamakan pribadi (self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Agama sebagai fitrah manusia telah dinashkan dalam al-Qur’an:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS; Ruum:30)
Dalam al-Qur’an dan terjemahannya dijelaskan bahwa fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.[4]


C.    Pengaruh Keberagamaan Dalam Prilaku
Agama di Negara kita menempati urutan tertinggi dalam tatanan nilai-nilai (sila pertama dalam pancasila) “ketuhanan yang Maha Esa” karena agama hampir selalu merupakan acuan utama dalam hampir setiap perilaku, baik individual maupun kelompok dalam setiap satuan etnik, budaya, kelompok, keluarga, dan sebagainya.
Tentang perlunya agama menjaga moral dalam penerapan ilmu, pandangan semacam ini telah diikuti oleh banyak ilmuan. Moral agama hendaknya selalu hadir dalam setiap moment penerapan ilmu.[5]
Begitu tingginya penempatan agama dalam tatanan nilai masyarakat kita, sehingga seakan-akan segala sesuatu akan terselesaikan dengan agama (Indonesia tidak akan ketularan AIDS karena kita adalah masyarakat pancasila yang menjunjung tinggi agama), demikian ucapan seseorang tokoh nasional ketika AIDS mulai menjadi isu di Indonesia pada tahun 1980-an. Dan jika ada suatu hal yang tidak dikehendaki (Kriminalitas, pelacuran, perkelahian pelajar, kenakalan remaja), cepat sekali orang menuding kurangnya iman keagamaan sebagai biang keladinya.
Disisi lain, dalam kenyataannya banyak sekali contoh pengaruh prilaku keberagamaan yang dibawah ini tentang ketidak konsistenan agama dan perilaku, misalnya sebagai berikut :
1.     Sebagian besar wanita tuna susila yang beroperasi di berbagai lokalisasi pelacuran melakukan ibadah keagamaan secara rutin dengan taat.
2.     Kaum pria pengunjung lokalisasi itu pun sehari-harinya dirumah diketahui sebagai ayah dan suami yang taat beribadah bahkan mungkin menjadi panutan dikantornya.
3.     Penghapusan berbagai lokalisasi (karena tidak sesuai dengan agama), ternyata tidak menghilangkan pelacuran itu sendiri (bahkan menyuburkan pelacuran) terselubung yang sulit diawasi dan dikendalikan.
4.     Remaja yang nakal, ternyata tidak lebih menjadi baik setelah dipanggilkan guru agama atau diberi  les mengaji.
5.     Kegiatan keagamaan meningkat di kota-kota besar (semakin banyak tempat ibadah dan semakin banyak pengunjungnya), namun angka kejahatan meningkat terus.
6.     Hampir semua pelaku penipuan dalam penyelenggaraan ibadah Haji adalah orang-orang yang sudah bergelar haji.
7.     Pendidikan agama adalah mata pelajaran wajib dalam kurikulum sekolah di Indonesia, tetapi korupsi, kolusi, kriminalitas, perselingkuhan, dan sebagainya berjalan terus.
8.     Dukun Datuk, pembunuh sadis di Sumatra Utara yang telah meminta korban 26  wanita tewas dibunuhnya adalah seorang tokoh agama dikampungnya.
Kenyataan lain, selalu mengajarkan kasih, damai di dunia, berbuat baik sesama manusia, semua manusia diseluruh dunia bersaudara, dan sebagainya, tetapi sampai hari ini tetap saja terjadi berbagai konflik, perang, terorisme, pembunuhan, dan sebagainya yang dilakukan atas nama agama sejak mulai perang Sabil di Eropa pada abad pertengahan sampai perang dan terorisme di Irlandia Utara, Timur Tengah, Hosmia-Serbia, Hindia, Srilangka, dan tentu saja di Indonesia sendiri.
Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukan bahwa agama tidak lagi dapat menjadi tali kasih dan perdamaian kalau sudah bercampur dengan faktor-faktor lain seperti ekonomi, politik, identitas kelompok, kebudayaan. Padahal, tidak ada agama di dunia sini yang seteril, yang dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Jadi, timbullah konflik peran dari agama dalam kehidupan masyarakat. Disatu pihak agama diharapkan menjadi peredam masalah-masalah yang dapat mengancam kehidupan masyarakat dipihak lain agama itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang akan diredamnya itu.[6]

D.    Kedudukan agama dalam psikologi
Bebeda dari anggapan awal dan juga sebagian pemuka agama (termasuk di Indonesia), agama bukan merupakan inti perilaku manusia, melainkan salah satu cara manusia dalam menyesuaikan diri dan bisa juga disebut sebagai pedoman pada lingkungannya atau dalam istilah psikologi dinamakan coping behavior (van der Lans, 1994). Oleh karena itu, agama tidak dengan sendirinya menentukan perilaku manusia, tetapi antara agama dan perilaku terdapat hubungan timbal balik yang kuat. Sedemikian kuatnya hubungan agama dan perilaku sehingga dianggap sangat penting oleh psikologi, terbukti dengan dibentuknya divisi psikologi agama dalam American psychological Association (APA) (Sexton, 1991).
Sebagai sarana penyesuaian diri (coping) agama dapat memberi hasil, baik yang positif maupun negatif pada individu. Hasil yang positif antara lain sebagai berikut:
1.      Secara psikologik memberi makna hidup, memperjelas tujuan hidup, dan memberikan perasaan bahagia karena hidup ini lebih berarti.
2.      Secara sosiologik  menjadikan lebih intim, dekat, dan akrab dengan keluarga, kelompok, dan masyarakat dan karenanya timbul perasaan terlindungi dan saling memiliki.
3.      Menemukan identitas diri, menemukan kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan diri dalam usahanya untuk mencapai Tuhan.
Sebaliknya, hasil yang negative adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, agresif atau mengembangkan halusinasi atau delusi mengenai agama, seperti yang dinyatakan dalam buku Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disoreders (1987)dari American Psychological Association (dalam Peergament & Park, 199lima)
Jadi, dalam psikologi agama bukanlah tujuan akhir karena tujuan akhir dari perilaku manusia (dalam kacamata psikologi) adalah penyesuaian diri yang optimal terhadap lingkungannya (baik lingkungan nyata, maupun lingkungan norma-norma dan nilai-nilai) yang diwujudkan dalam bentuk kesehatan mental yang optimal pula (yang ciri-cirinya, antara lain adanya perasaan puas, bahagia, tenang, tidak terlalu banyak stress atau konflik-konflik batin yang tidak teratasi, dan tidak berperilaku destruktif atau agresif, baik yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Dengan perkataan lain, kalau ada alternative sarana penyesuaian diri lain yang oleh individu atau individu-individu dianggap lebih baik dari agama, bukannya tidak mungkin manusia memilih sarana lain tersebut daripada agama. Contohnya, pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam agama islam diupayakan melalui system zakat, fitrah, dan sedekah. Di Negara-negara dengan system kesejahteraan sosial (social welfare) yang sudah maju (misalnya, Swedia), tujuan itu dicapai dengan sangat berhasil melalui system pajak (kadang-kadang sangat tinggi bagi individu yang berpenghasilan sangat besar) dan pemberian santunan sosial bagi yang memerlukannya, (misalnya pengangguran).
Contoh lain, yaitu di Barat, agama  dalam arti lembaga keagamaan (gereja, lambang-lambang Kristen dan ritualnya) semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Akan tetapi, kebutuhan beragama, dalam arti menjadi sesuatu yang bermakna dalam system Universe, masih tetap ada. Salah buktinya adalah bahwa jika seseorang di Barat mengalami musibah, pertanyaannya adalah “Why me? Mengapa saya? Mengapa bukan orang lain yang mengalami musibah ini? Mengapa harus saya?” Ini adalah pertanyaan yang timbul dari perasaan bahwa orang itu tersisihkan dan system Universe (Tuhan tidak adil).
Beberapa penelitian dan terapan psikologi dalam islam
1.      Penelitian (tahun 1987) terhadap 409 psikolog anggota APA (American Psychological Association), yang terdiri atas 107 wanita (26%), 299 pria (73%), dan 3 tanpa keterangan jenis kelamin (1%) memberikan pernyataan berikut:
a.       74% setuju bahwa agama tercakup dalam ruang lingkup psikologi:
b.      91% menanyakan agama kliennya:
c.       57% menggunakan istilah-istilah dan jargon-jargon agama;
d.      36% menyarankan klien agar terlibat dalam kegiatan keagamaan;
e.       32% menganjurkan klien untuk membaca buku agama;
f.       7% berdo’a bersama klien.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa agama merupakan bagian dari psikoterapi di AS.
2.      Agama (mistik) di Jawa Tengah (Solo) digunakan untuk penyembuhan penyakit dan pencapaian keseimbangan jiwa (aliran-aliran Sapta Darma, Pangestu (relaksasi), Sumarah, PKMG, Perjalanan, Subud, Wiweke).  
3.      Di Amerika Serikat, yurisprudensi (ketetapan pengadilan ) menggunakan agama, sedangkan organisasi-organisasi keagamaan dilibatkan dalam penetapan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan untuk masyarakat. Dengan demikin, agama mewarnai semua proses hukum di Amerika Serikat. Dengan perkataan lain, walaupun agama tidak dipraktikkan dalam ritual yang tradisional sehari-hari, agama merupakan salah satu bagian dari kepribadian orang di AS, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dan bangsa.
4.      Pengukuran agama selalu terbentur pada kendala metodologi. Korelasi antar pertanyaan-pertanyaan lisan selalu tinggi.
5.      Penelitian menunjukkan bahwa penyalahgunaan zat dikalangan orang yang non-religius. Orang yang religious telah terbiasa untuk menerima norma-norma yang anti-penyalahgunaan obat, bergaul dengan teman-teman sebaya yang anti penyalahgunaan obat, dan mempunyai mekanisme untuk memuaskan kebutuhan dan kontak sosialnya, dan mempunyai makna dalam hidup. Akan tetapi, hubungan yang positif ini hanya ada pada praktik keagamaan yang penuh kasih sayang dan membangkitkan semangat, bukan yang serba melarang, negative dan ritual belaka.
6.      Walaupun agama-agama besar di dunia rata-rata menganjurkan toleransi dan kasih sayang kepada orang lain, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa umumnya pada tingkat yang masih sederhana agama justru berkolerasi positif dengan prasangka. Hubungan ini tidak kurvilinear (tinggi pada yang keyakinannya sedang-sedang saja, tetapi rendah baik pada yang keyakinan agamanya rendah maupun tinggi) dan juga tidak disebabkan oleh ajaran-ajaran intrinsik dan ekstrinsik dari agama itu. Disimpulkan bahwa bukan agama itu sendiri yang menyebabkan prasangka, melainkan bagaimana orang memperlakukan kepercayaan terhadap agama. Itulah yang menyebabkan timbulnya prasangka.
7.      Penelitian terhadap 200 mahasiswa Hindu dan 200 mahasiswa Muslim (masing-masing terdiri atas 100 mahasiswa dan 100 mahasiswi) di Universitas Bhagalpur, India. Hasilnya Mahasiswa Hindu mempunyai n-Ach (need for achievement) dan otonomi yang lebih tinggi dari pada mahasiswa muslim. Dan sebaliknya, mahasiswa muslim menunjukkan sektor lebih tinggi pada deferevce dan orderliness. Penyebabnya, bahwa mahasiwa muslim mempunyai Tuhan yang tunggal, tata perilaku dan cara beribadah yang tetap dan pasti. Sementara mahasiswa Hindu dituntut oleh agamanya untuk lebih individual (boleh mempunyai Tuhan masing-masing dan cara beribadah sendiri).[7]

E.     Hubungan kepribadian dan sikap keagamaan
(Sigmund Frued) Merumuskan system kepribadian menjadi tiga system. Ketiga system ini dinamakan id, ego, super ego. Dalam diri orang yang memilki jiwa yang sehat ketiga system itu bekerja dalam suatu susunan yang harmonis. Segala bentuk tujuan dan segala gerak-geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok.
Sebaliknya, kalau ketiga system itu bekerja secara bertentangan satu sama lainnya, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat menyesuaikan diri. Ia menjadi tidak puas dengan diri dan lingkungannya. Dengan kata lain, efisiensinya menjadi berkurang.
a.       Id (Das Es)
Sebagai suatu system id mempunyai fungsi menunaikan prinsip asli manusia berupa penaluran dorongan naluriah, yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan naluri dasar: makan, minum, dll.

b.      Ego (Das Es)
Ego merupakan system yang berfungsi menyalurkan dorongan Id ke keadaan yang nyata. Dalam fungsinya, ego berpegang pada  prinsip kenyataan (reality principle). Tujuan prinsip kenyataan ini ialah mencari objek yang tepat (serasi) untuk mereduksikan ketegangan yang timbul dalam organisme. Ego memiliki kesadaran untuk menyelaraskan dorongan yang baik dan buruk hingga tidak terjadi kegelisahan atau ketegangan batin.   
Segala bentuk dorongan naluri dasar yang berasal dari Id hanya dapat direalisasi dalam bentuk nyata melalui bantuan Ego. Ego juga mengandung prinsip kesadaran.
c.       Super Ego (das Uber Ich)
 Sebagai suatu system yang memiliki unsur moral dan keadilan, maka sebagian besar super ego memiliki alam ideal. Tujuan super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Jika tindakan itu sesuai dengan pertimbangan moral dan keadilan, maka ego mendapat ganjaran berupa rasa puas atau senang. Sebaliknya jika bertentangan, maka ego menerima hukuman berupa rasa gelisah dan cemas. Super ego mempunyai dua anak system, yaitu ego ideal dan hati nurani.[8]
Super Ego, yang berfungsi sebagai pemberi ganjaran batin baik berupa penghargaan (rasa puas, senang, berhasil) naupun berupa hukuman (rasa bersalah, berdosa, dan menyesal). Penghargaan batin diperankan oleh ego-ideal, sedangkan hukuman batin dilakukan oleh hati nurani.[9]



F.     Tingkah Laku Keagamaan yang Menyimpang
Dalam kehidupan sosial dikenal bentuk tata aturan yang disebut norma. Norma dalam kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolok ukur tingkah laku sosial. Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang. 
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo M.A. membagi norma sebagai tolok ukur tingkah laku dilihat dari penduduknya, menjadi beberapa macam, antara lain: norma pribadi, norma grup (kelompok), norma masyarakat, norma susila, dan sebagainya. Dengan demikian, norma keagamaan merupakan salah satu bentuk norma yang menjadi tolok ukur tingkah laku keagamaan seseorang, kelompok atau masyarakat yang mendasarkan nilai-nilai luhurnya pada ajaran agama. Tetapi menurut kasmiran, norma menurut sifat dan sumbernya itu dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu, norma tradisional dan norma formal.
Mengacu kepada pernyataan tersebut, terlihat bahwa baik norma traditional maupun norma formal bersumber dari nilai-nilai luhur yang diperkirakan dapat dijadikan tolok ukur tingkah laku. Dalam masyarakat beragama, walaupun secara tegas sulit untuk diteliti, namun diyakini norma-norma yang berlaku dalam kehidupan tak mungkin lepas dari nilai-nilai luhur agama yang mereka anut. Karena itu, dalam kondisi yang bagaimanapun, bentuk tingkah laku yang menyimpang masih dapat diketahui dan dibedakan dari norma-norma yang berlaku.
Contoh lain yaitu Aliran Klenik. yaitu diartikan  sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Sisi-sisi yang menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal gaib tentunya tidak memiliki batas dan indikator yang jelas, karena semuanya bersifat emosional dan cenderung berada diluar jangkauan nalar. Karena itu tak jarang dimanipulasi dalam bentuk kemasan yang dihubungkan dengan kepentingan tertentu. Manipulasi melalui kepercayaan agama lebih diterima oleh masyarakat, sebab agama erat dengan sesuatu yang sakral.
Penyimpangan tingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik seperti ini menurut Robert H. Thouless dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sugesti. Istilah ini digunakan oleh para ahli psikologi untuk proses yang diamati dalam berbagai eksperimen dengan hipnotisme. Dalam analisisnya, Robert H. Thouless mencontohkan bagaimana tukang hipnotis meyakinkan seseorang melalui persepsi yang diciptakannya.
Psikologi agama yang mempelajari hubungan sikap dan tingkah laku manusia dalam kaitan dengan agama, agaknya dapat melihat penyimpangan tingkah laku keagamaan sebagai bagian dari gejala kejiwaan. Lalu dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1.      Pelakunya menokohkan diri selalu orang suci dan umumnya tidak memiliki latar belakang yang jelas (asing).
2.      Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
3.      Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4.      Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.
5.      Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
Suburnya praktik ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama, namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi. Kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (higly sugestibel), sehingga lebih reseptif (mudah menerima) gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama.
Faktor-faktor lain yang juga mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya, jika mengalami penderitaan, cenderung akan kehilangan pegangan hidup. Oleh karena itu, pada umumnya dalam kondisi yang putus asa seperti itu, praktik kebatinan seperti aliran klenik dianggap dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi kemelut batin mereka.
Perilaku keagamaan yang menyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Dalam kondisi seperti itu mereka sulit untuk didekati. Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran-aliran kepercayaan dan aliran kebatinan. Menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial, dan politik, hingga mendorong masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu masuk kedalam khayalan tasawuf.
Memang, terlihat agama sebagai bentuk kepercayaan kerapkali dijadikan tempat bernaung bagi aliran-aliran seperti itu. Karena itu, para ahli psikologi agama melihat tingkah laku menyimpang dalam kehidupan beragama erat kaitannya dengan pengaruh psikologis.



BAB III
ANALISA
Tentang perlunya agama menjaga moral dalam penerapan ilmu, pandangan semacam ini telah diikuti oleh banyak ilmuan. Moral agama hendaknya selalu hadir dalam setiap moment penerapan ilmu.
Seperti pembahasan yang telah dipaparkan diatas, Agama di Negara kita menempati urutan tertinggi dalam tatanan nilai-nilai (sila pertama dalam pancasila) “ketuhanan yang Maha Esa” karena agama hampir selalu merupakan acuan utama dalam hampir setiap perilaku, baik individual maupun kelompok dalam setiap satuan etnik, budaya, kelompok, keluarga, dan sebagainya.
pada dasarnya, Agama selalu mengajarkan kasih sayang, damai di dunia, berbuat baik sesama manusia, semua manusia diseluruh dunia bersaudara, dan sebagainya, tetapi sampai hari ini tetap saja terjadi berbagai konflik, perang, terorisme, pembunuhan, dan sebagainya yang dilakukan atas nama agama sejak mulai perang Sabil di Eropa pada abad pertengahan sampai perang dan terorisme di Irlandia Utara, Timur Tengah, Hosmia-Serbia, Hindia, Srilangka, dan tentu saja di Indonesia sendiri.
Pendek kata, kenyataan-kenyataan tersebut menunjukan bahwa agama tidak lagi dapat menjadi tali kasih dan perdamaian kalau sudah bercampur dengan faktor-faktor lain seperti ekonomi, politik, identitas kelompok, kebudayaan. Padahal, tidak ada agama di dunia sini yang seteril, yang dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Jadi, timbullah konflik peran dari agama dalam kehidupan masyarakat. Disatu pihak agama diharapkan menjadi peredam masalah-masalah yang dapat mengancam kehidupan masyarakat dipihak lain agama itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh faktor-faktor yang akan diredamnya itu.
Disisi lain, ada juga penelitian-penelitian yang menunjukan bahwa bagaimanapun juga agama dapat berperan positif terhadap perilaku. Di Swedia, misalnya, keyakinan dan praktek beragama (kristen) berkorelasi terbalik dengan koralitas dengan kekerasan, pelanggaran keamanan dari ketertiban masyarakat, dan alkoholisme (walaupun tidak berkorelasi dengan kejahatan property, pelanggaran nilai moral, dan narkotika) (petterson, 1991). Sebaliknya, di Australia, pemeluk agama timur (yang mereka namakan paranormal) yang percaya dengan kehidupan di akhir ternyata lebih konserfatif, lebih puritan, anti hedonism, dan lebih militant-punitif (cenderung tegas dalam memberi sanksi kepada yang melanggar) (thalbourne 1994). Disinilah diperlukan psikologi yaitu ilmu mempelajari perilaku. Jadi, hal hubungan antara agama dan perilaku ini psikologi bertugas untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam hubungan antara kedua hal itu dan bagaimana mengupayakan agar agama dapat berfungsi optimal bagi kehidupan manusia, yaitu dapat menimbulkan perilaku yang positif (seperti pelestarian lingkungan, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan pengurangan kemiskinan) dan mencegah perilaku yang negatif (kejahatan, kekerasan, penyelewengan, dan terorisme).

Timbulnya Perilaku Keberagamaan
Perilaku keberagamaan merupakan respon dari realitas mutlak sesuai dengan konsep Joachim Wach atau imam Abu al-Hasan al-Asy’ary. Untuk mewujudkan satuan perilaku beragama diperlukan suatu proses panjang ynag menyangkut dimensi kemanusiaan baik pada aspek kejiwaan, perorangan maupun kehidupan kelompok. Unsur ini disimpulkan dari sifat ajaran agama yang menjangkau keseluruhan hidup manusia, karena manusia memiliki dimensi kejiwaan perorangan atua kelompok.
Menurut William James, sikap dan perilaku keberagamaan muncul dari dua hal, yaitu;
1.        Sakit Jiwa
Sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemukan pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu atau adanya penderitaan batin, seprti konflik batin, musibah dan lain-lain. Latang belakang itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan beragama. William Starbuch, seperti yang dikemukakan oleh William James berrpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1)      Faktor intern, yang menjadi penyebab dari timbulnya perilaku keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
a)    Temperamen
b)   Gangguan jiwa
c)    Konflik dan Keraguan
d)   Jauh dari Tuhan
  Sedangkan ciri dari orang yang mengalami kelainan kejiwaan seperti ini umumnya cenderung menampilkansikap pesimis, memahami faham yang ortodok, menyakini proses keagamaan yang secara non graduasi.
2)      Faktor ekstern, yang turut mempengaruhidalam faktor ini adalah :
a)    Musibah
b)   Kejahatan

2.       Orang yang sehat jiwa
Ciri dan sifat dari orang yang sehat jiwa adalah sebagai berikut :
a.       Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa memahami dan menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.
b.      Ektrofet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yanmg sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati sebagai akses agamis tindakannya. Mereka selalu berpandangan keluar dan membawa suasana hatinya lepas dari lingkungan  ajaran keagamaan terlalu menjelimet.
c.       Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Maksudnya mereka menyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan tidak melalui proses pendadakan.
Jadi perilaku keberagamaan tergantung pada watu, keadaan, dan lingkungannya, dan pengaruh factor-faktor yang lain yang menimbulkan banyak perilaku keberagamaan yang dimiliki manusia secara berbeda-beda.


BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
1.    Perilaku keberagamaan adalah segala aktifitas atau aspek perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai agama. Untuk mewujudkan satuan perilaku keagamaan diperlukan suatu proses panjang yang menyangkut dimensi kemanusian baik pada aspek  kejiwaan perorangan maupun kehidupan kelompok.
     Perilaku keberagamaan dalam psikologi islam sangat berpengaruh besar terhadap system nafsani manusia. Hal ini bisa dilihat dari cara berfikir, memahami realita, memilih tingkah laku dan hawa nafsu. Oleh karena itu kinerja berfikir, memahami realita dan tingkah laku setiap individu berbeda-beda, karena perangkat-perangkat tersebut merupakan ciri dari masing-masing indvidu yang tidak bisa disamakan. Jikapun ada, namun tidak sama tetapi hanya menyerupai.
2.    Dalam perspektif psikologi islam mengenai perilaku keberagamaan pada dasarnya membagi tatanan individu. Hal ini menyebabkan persepsi masing-masing individu mengenai ajaran islam  berbeda-beda. Dengan demikian maka dapat dipahami individu hanya memahami ajaran islam sesuai dengan pandangan yang menurutnya merupakan sebuah acuan dalam ajaran islam. Maka dari itu tidak bisa disalahkan karena hal tersebut merupakan kepercayaan masing-masing individu.
3.    Perilaku keberagamaan yang merupakan respon benar ataupun salahnya terhadap iman. Perilaku keberagamaan menjadikan tolak ukur kualitas iman seseorang. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Kita beragama untuk berakhlak, namun dalam kenyataannya kita beragama hanya mengedepankan simbol-simbol dan ritual keagamaan saja. kita lebih banyak berlindung kepada topeng Agama namun perilaku kita tidak menunjukkan sebagai umat yg beragama. Agama belum menjadi nilai yang harus kita transformasikan kedalam bentuk perilaku kesalehan sehari-hari. Oleh karena itu perilaku keberagamaan harus dibahas sehingga kita dapat mengetahui sudah sampai mana dimensi kita.














DAFTAR PUSTAKA

Poerwadarmanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, PT Mizan Pustaka, Bandung: 2003
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial, Balai Pustaka, Jakarta: 2005
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007
Djamaludin Ancok. Psikologi Islam, PustakaPelajar, Yogyakarta: 2011
Muslim. Ahmad Kadir, Ilmu Islam Terapan, Pustaka pelajar, Yogyakarta; 2000


[1]W.J.S Poerwadarmanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985
[2]Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, PT Mizan Pustaka, Bandung: 2003, hal 32
[3]Ibid, hal 45
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2007, hal 153 - 159
[5]DjamaludinAncok. Psikologi Islam,PustakaPelajar, Yogyakarta: 2011, hal 123
[6]SarlitoWirawanSarwono, Psikologi Sosial, BalaiPustaka, Jakarta: 2005, hal 240
[7]ibid. hal 242-247
[8]Ibid, hal 188 - 189
[9]Ibid, hal 194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar